Minggu, 27 Desember 2009

Ibadah-Ibadah Sunnah Bulan Muharram

Bulan Muharram adalah salah satu dari empat bulan haram atau yang dimuliakan Allah. Empat bulan tersebut adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan Ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (QS. At-Taubah: 36)

Para ulama menyatakan bahwa Muharram itu artinya “dilarang”. Bulan ini pada zaman Jahiliyah dianggap sebagai bulan yang suci dan juga dimuliakan sehingga setiap orang tidak boleh melakukan peperangan atau persengketaan sedikit pun. Begitulah wujud penghormatan masyarakat Jahiliyah terhadap bulan ini. Namun setelah Islam datang kebiasan seperti itu dihilangkan.

Dalam Islam, bulan Muharram memiliki keutamaan tersendiri dibandingkan dengan bulan-bulan yang lainnya. Ia disebut sebagai Syahrullah (bulan Allah). Jika saja kita melakukan amal ibadah maka pahalanya akan dilipatgandakan sebaliknya jika kita melakukan maksiat maka dosanya pun dilipatgandakan pula. Selain bernilai dari sisi pahala ibadah, bulan ini juga ternyata memiliki sisi histories yang luar biasa. Pada bulan tersebut, tepatnya tanggal 10 Muharram, Allah menyelamatkan umat Nabi Musa dari incaran pasukan Fir’aun.

Selain itu juga, Umar bin Khattab menjadikan bulan ini sebagai awal bulan dalam kalender Hijriyyah. Pada awalnya ada di antara sahabat yang mengusulkan Rabi’ul Awal sebagai awal bulan. Ada pula yang menyatakan bulan Ramadhanlah sebagai bulan yang pertama dalam kalender Hijriyyah. Namun Umar beserta sejumlah sahabat lainnya lebih memilih bulan Muharram sebagai bulan yang pertama dalam Islam. Alasannya adalah pada bulan ini telah bulat keputusan Rasulullah Saw untuk hijrah pasca peristiwa Ba’iatul ‘Aqabah di mana terjadi bai’at 75 orang Madinah yang siap membela dan melindungi Rasulullah Saw, apabila beliau datang ke Madinah. Dengan adanya bai’at ini Rasulullah pun melakukan persiapan untuk hijrah dan baru dapat terealisasi pada bulan Shafar, meski ancaman maut dari orang-orang Quraisy senantiasa mengintai beliau.

Dari kedua keutamaan ini maka imbasnya, Rasulullah saw memberikan perhatian yang lebih terhadap bulan ini. Bahkan orang Yahudi pun senantiasa berpuasa di hari ke 10 pada bulan tersebut sebagai bentuk rasa syukur mereka atas terselamatkannya mereka dari kejaran Raja Fir’aun dan bala tentaranya yang ingin memusnahkan mereka. Dengan demikian ada beberapa amalan sunnah yang diajarkan Rasulullah Saw kepada umatnya sebagai bentuk penghormatan terhadap bulan ini.

Sebelum datangnya bulan Ramadhan, shaum pada tanggal 10 Muharram hukumnya wajib namun setelah Allah mewajibkan shaum di bulan Ramadhan maka shaum di bulan Muharram tersebut menjadi sunnah. Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa ketika Nabi Saw datang ke Madinah, ia melihat seorang Yahudi yang sedang melaksanakan shaum satu hari, yaitu ‘Assyura (10 Muharram). Mereka berkata: “Ini adalah hari yang agung yaitu hari Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan keluarga Fir’aun. Maka Nabi Musa As berpuasa sebagai bukti syukur kepada Allah. Rasul Saw bersabda: “Saya lebih berhak mengikuti Musa as dari pada mereka.” Maka beliau berpuasa dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa. (HR. Bukhari)

Dalam hadits yang lain pula dinyatakan, bahwa Rasulullah Saw bersabda: Sebaik-baik puasa setelah Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah yakni Muharram. Dan sebaik-baiknya ibadah setelah ibadah wajib adalah shalat malam. (HR. Muslim)

Meskipun ada kemiripan dengan shaumnya orang-orang Yahudi namun Rasulullah menegaskan dan juga memerintahkan kepada umatnya agar berbeda dengan apa yang dilakukan oleh orang Yahudi. Oleh karena itu beberapa hadits menyarankan agar puasa hari ‘Asyura diikuti oleh puasa satu hari sebelum atau sesudah puasa hari ‘Asyura.

Dalam Kitab Zaadul Ma’aad disebutkan bahwa shaum di bulan ‘Asyura dibagi menjadi tiga urutan, yaitu: urutan yang pertama, shaum pada tanggal 10 ditambah sehari sebelum dan sesudahnya (9-10-11). Urutan yang kedua, shaum tanggal 9 dan 10. Shaum pada tanggal tersebut banyak disebutkan dalam sejumlah hadits. Urutan yang ketiga yakni shaum pada tanggal 10 saja.

Dari ketiga urutan di atas yang paling kuat menurut para ulama adalah shaum selama 3 hari (9,10, dan 11) dengan alas an kehati-hatian, yaitu kemungkinan penetapan awal bulannya tidak tepat, maka shaum tanggal sebelasnya akan dapat memastikan bahwa seseorang mendapatkan shaum tasu’a (tanggal 9) dan ‘Asyuro (tanggal 10). Nabi Saw sendiri memerintahkan para sahabat untuk berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram agar berbeda dengan ibadah orang-orang Yahudi. Namun Nabi Saw belum sempat melaksanakan Shaum pada tanggal 9 berhubung beliau telah meninggal dunia.

Selain melaksanakan shaum sunnah, di bulan ini pula hendaknya memperbanyak sedekah dan menyediakan lebih banyak makanan bagi keluarganya. Tradisi ini memang tidak didapatkan dalam hadits namun ulama seperti Baihaqi dan Ibnu Hibban menyatakan bahwa perbuatan itu baik untuk dilakukan.

Tidak hanya shaum dan juga sedekah, pada bulan ini pun, kaum muslimin sering menjadikannya sebagai momentum untuk menyantuni anak yatim. Namun, bukan berarti perbuatan seperti itu, hanya dilakukan pada bulan Muharram saja namun di bulan-bulan yang lain pun dianjurkan.

Begitulah tuntunan Rasulullah dalam mengisi bulan Muharram ini dengan ibadah-ibadah Sunnah. Mudah-mudahan kita semua bisa mengamalkan sunnah-sunnah tersebut. Amin. Wallahu a’lam bis-showab

Merayakan Tahun Baru Hijriah

Oleh: Nashruddin Syarief

Sebagian umat Islam dengan dalih keagamaan meyakini bahwa tahun baru hijriah harus dirayakan karena titik tekan hijrahnya. Keyakinan tersebut tentunya sangat apologetik (mencari-cari alasan), karena pada faktanya hijrah Rasulullah saw terjadi pada tanggal 2-12 Rabi’ul-Awwal tahun 13 bi’tsah/kenabian, bukan pada awal bulan Muharram.[1]

Maka dari itu—dan ini memang sudah jamak disadari oleh mayoritas masyarakat Muslim—penyambutan tahun baru hijriah sebenarnya hanya terletak pada penyambutan tahun barunya, untuk menyaingi tahun baru masehi. Itu berarti motifnya bukan mengamalkan ajaran agama, tapi untuk tasyabbuh pada tahun baru masehi. Memang dari segi tujuan ada baiknya, yakni mengubah tradisi perayaan tahun baru masehi yang kental dengan pesta, menjadi lebih berpihak pada Islamnya dengan nuansa-nuansa Islami. Akan tetapi tentu tidak cukup berhenti sampai di sana. Nabi saw senantiasa mengajarkan umatnya untuk mempunyai identitas mandiri, tidak ikut-ikutan pada budaya orang lain. Nabi saw senantiasa mengajarkan umatnya agar tidak mempunyai mental pengekor yang selalu merasa minder jika tidak bisa menyamai orang-orang non-Islam. Untuk menjadikan Islam lebih tinggi di atas non-Islam tidak perlu menempuh cara-cara yang sama dengan yang telah ditempuh umat non-Islam. Pesan Rasul saw:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, berati ia bagian dari mereka.[2]

Maka dari itu, ketika Nabi saw datang hijrah ke Madinah dan menemukan penduduknya suka merayakan hari Nairuz dan Mihrajan sebagaimana biasa dirayakan di masa Jahiliyyah, Nabi saw langsung melarangnya:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللهِ r الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ. قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ r: إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ

Dari Anas, ia berkata: Ketika Rasulullah saw datang ke Madinah, penduduknya mempunyai dua hari yang biasa dirayakan. Tanya Rasul saw: “Ada apa dengan dua hari itu?” Mereka menjawab: “Kami sudah biasa merayakannya sejak zaman jahiliyyah.” Sabda Rasul saw: “Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik, yaitu hari Adlha dan hari Fithri.”[3]

Terkait hadits di atas, Imam al-Mubarakfuri menjelaskan bahwa dua hari yang biasa dirayakan penduduk Madinah waktu itu adalah hari Nairuz dan Mihrajan. Hari Nairuz adalah hari pertama dalam perhitungan tahun bangsa Arab yang diukurkan ketika matahari berada pada pada titik bintang haml/aries. Bulan Nairuz dalam perhitungan tahun matahari versi bangsa Arab sama dengan bulan Muharram dalam tahun hijriah. Merayakan hari Nairuz artinya merayakan tahun baru. Sementara hari Mihrajan adalah hari pertengahan tahun, tepatnya ketika matahari berada pada titik bintang mizan/gemini di awal musim semi, pertengahan antara musim dingin dan panas.[4] Kedua perayaan tersebut sangat tidak disetujui oleh Rasulullah saw. Tidak perlu mengekor pada tradisi jahiliyyah, demikian kurang lebih pesan Rasulsaw, kita umat Islam pun punya perayaan tersendiri; ‘Idul-Fithri dan ‘Idul-Adlha.

Sangat jelas sekali apa yang disampaikan Anas dalam hadits di atas. Rasul saw tidak merestui adanya perayaan tahun baru. Hanya ‘Idul-Fithri dan ‘Idul-Adlha saja, titik, tidak ada lagi. Dan masih kurang jelas apa lagi Islam dalam memberikan tuntunan kepada umatnya agar tidak terbawa-bawa tradisi jahiliyyah. Bahkan jika dikaitkan dengan momentum hijrah ini, maka yang harus dilakukan justru menanggalkan semua bentuk perayaan yang biasa dirayakan bangsa-bangsa jahiliyyah, di antaranya tahun baru, dengan beralih (hijrah) pada tuntunan yang benar-benar berasal dari Islam.

Itu semua bukan berarti bahwa Islam tidak memberikan perhatian pada pergantian waktu. Karena sebagaimana kita tahu, waktu merupakan hal yang disorot secara tajam oleh al-Qur`an. Dari mulai titah untuk selalu memperhatikan waktu fajar (wal-fajri), waktu shubuh (was-shubhi idza tanaffas), waktu pagi (wad-dluha), waktu siang (wan-nahari idza tajalla), waktu sore (wal-’ashri), sampai waktu malam (wal-laili idza yaghsya), dan waktu secara menyeluruh itu sendiri (wal-’ashri). Semuanya itu selalu dikaitkan oleh Allah swt dengan sejauh mana amal yang sudah kita perbuat, untuk dijadikan sarana evaluasi atas semua yang telah kita kerjakan. Artinya, Islam tidak memandang pergantian tahun sebagai sesuatu yang istimewa lebih dari yang lainnya, hanya pergantian biasa saja seperti pergantian siang dan malam, tidak lebih dari itu. Dan yang diinstruksikan oleh al-Qur`an untuk diperhatikan justru yang lebih intensif dari tahun, yakni pergantian waktu di setiap hari dan malamnya.

Wal-’Llahu a’lam bis-shawab.

Kedudukan dan Hakikat Hijrah

Oleh: Nashruddin Syarief

Penetapan hijrah sebagai patokan awal kalender Islam di masa kekhilafahan ‘Umar ibn al-Khaththab mengisyaratkan pentingnya kedudukan hijrah dalam sejarah perjuangan Islam.[1] Karena memang pada faktanya hijrah ke Madinah bukanlah sebentuk mencari suaka politik seperti halnya hijrah ke Habasyah yang dilakukan oleh para shahabat atas instruksi Nabi saw. Hijrah ke Madinah adalah sebentuk proklamasi kemerdekaan Islam di atas wilayahnya sendiri dengan kekuasaan penuh untuk mengendalikan dakwah dan syari’at Allah swt. Dengan hijrah kaum Muslimin mempunyai kekuatan yang cukup untuk mengatur dirinya sendiri dan menahan setiap gangguan yang datang dari luar.

Hijrah adalah sebuah pilihan sadar untuk lebih memilih Allah dan Rasul-Nya dibanding dunia yang sudah dimiliki. Dia dengan sendirinya mensyaratkan keimanan yang tinggi. Mengaku beriman tapi tidak mau hijrah merupakan isyarat bahwa ia masih menomorduakan Allah dan Rasul-Nya. Lihat bagaimana pengorbanan kaum Muhajirin dengan apa yang mereka tempuh. Mereka meninggalkan keluarga dan kerabat hanya karena tidak mau menanggalkan Islam seperti dikehendaki penguasa. Rumah mereka yang lengkap dengan semua perabotnya rela mereka tinggalkan hanya karena ingin beragama dengan benar. Usaha mereka yang sudah puluhan tahun digeluti dan menghasilkan pendapatan yang mencukupi pun dengan ikhlas mereka tinggalkan, hanya karena tidak mau tunduk kepada penguasa kafir. Status mereka yang semula kaya, rela dikorbankan menjadi miskin. Jika semula mereka hidup mapan di Makkah, maka dengan hijrah mereka siap menjalani hidup sebagai pengungsi di negeri orang. Semuanya itu mereka tempuh demi Allah dan Rasul-Nya, semua itu demi Islam. Maka pantas sekali jika kemudian mereka diganjar dengan kedudukan yang utama oleh Allah swt.

(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.[2]

Demikian pula dengan orang Islam yang merelakan wilayahnya jadi tempat hijrah. Mereka tidak merasa berat hanya karena banyak pengungsi di sekeliling rumahnya. Mereka tidak merasa berat untuk sekadar memberi tempat dan makanan kepada para Muhajir fi sabilillah. Orang-orang seperti ini juga orang-orang yang sudah terbukti benar pengakuan keimanan mereka. Anshar, demikian mereka disebut, dimuliakan juga oleh Allah swt atas kerelaannya membantu para Muhajir.

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan (keberatan) dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung. (QS. Al-Hasyr [59] : 9)

Hijrah adalah sunnah yang sudah berlaku bagi para Nabi dan umat mereka sebelum Nabi Muhammad saw diutus. Karena tabiat jalan dakwah akan selalu mendapatkan penentangan fisik yang sangat luar biasa dari musuh-musuhnya. Dalam kondisi seperti itu, para Nabi dan umatnya dituntut untuk bisa menyelamatkan agama Allah swt dengan hijrah. Lihat misalnya Nabi Nuh as dengan pembuatan bahteranya. Nabi Ibrahim dengan umatnya yang harus berpindah-pindah dari Irak, ke Syam, ke Mesir lalu kembali ke Syam. Semuanya itu disebabkan mereka siap menyatakan berlepas diri dari apa yang dianut oleh masyarakat jahiliyyah. Demikian juga Nabi Musa as dan pengikutnya yang harus menyeberangi lautan demi menghindar dari kekejaman Fir’aun. Dan Nabi ‘Isa as yang harus menyatakan kepada pengikutnya, man anshari ilal-’Llah; siapa yang siap untuk menjadi penolongku menuju kepada Allah?

Maka keberpihakan kepada agama dan kerelaan menanggalkan duniawi itulah yang menjadi spirit pokok dari hijrah. Keengganan untuk memilih jalan tersebut menandakan betapa tipisnya keimanan seseorang ketika dihadapkan pada pilihan antara Allah swt dan dunia. Jika kita masih mengaku Islam, tapi hanya karena kesibukan pekerjaan duniawi kita, tidak ada waktu yang bisa disempatkan untuk memperdalam ilmu agama, maka keimanan kita pun dipertanyakan. Pilihan untuk berjilbab di satu sisi yang bentrok dengan kebijakan manajemen yang tidak mengizinkan jilbab di sisi lain, merupakan ujian keimanan kita yang sesungguhnya. Pilihan untuk menggunakan aturan-aturan agama yang kenyataannya bentrok dengan aturan-aturan sekular pun merupakan ujian keimanan untuk kalangan politisi dan birokrat. Ketidakmampuan diri untuk lepas dari jeratan sistem riba juga menjadi ujian keimanan untuk kalangan ekonom. Allah swt sudah mewajibkan hijrah sampai akhir zaman. Maka ketika kepentingan Alah bentrok dengan kepentingan dunia, hijrahlah kita semua menuju Allah dan Rasul-Nya.
http://persis.or.id/?p=1072

[1] Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir at-Thabari, Tarikh at-Thabari, Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, t.th. (5 jilid), 2 : 569.
[2] QS. Al-Hasyr [59] : 8

Kirim Email

Your Name
Your Email Address
Subject
Message
Image Verification
Please enter the text from the image
[ Refresh Image ] [ What's This? ]

Sabtu, 26 Desember 2009

Mempercepat Booting Windows

Kecepatan booting komputer memang sangat penting bagi pengguna komputer saat ini. Jikalau kecepatan booting sangat lamban, sering kali membuat pengguna komputer merasa sebal, jengkel, kesal ataupun marah. Biasanya faktor yang sering membuat booting itu lamban dikarenakan komputer tersebut telah terinfeksi virus dan terlalu banyak menginstall software sehingga banyak file yang aktif pada saat komputer dihidupkan. Untuk mengatasi masalah tersebut anda bisa mempraktekan trik berikut ini agar booting komputer anda menjadi jauh lebih cepat daripada sebelumnya.

1. Pertama-tama klik Start > Run
2. Pada kotak Run ketikkan Regedit
3. Setelah itu masuk direktori berikut ini :

HKEY_LOCAL_MACHINE\SOFTWARE\Microsoft\Windows\CurrentVersion\Run dan HKEY_USERS\SOFTWARE\Microsoft\Windows\CurrentVersion\Run

4. Selanjuntya hapus semua String Value pada direktori Run tersebut kecuali (Default) dan Startup Anti Virus yang anda gunakan.
5. Lalu restart komputer anda untuk melihat hasilnya.

Cara Mempercepat Koneksi Firefox

Untuk saat ini Firefox merupakan Web Browser yang paling populer di dunia. Selain bagus tampilannya, navigasinyanya pun juga sangat menarik. Apalagi untuk masalah kecepatan Browsing Firefox bisa ditingkatkan, sehingga banyak orang yang menggunakan Firefox dibandingkan Google Chrome, Safari, Opera ataupun Internet Explorer dan di bawah ini adalah Cara Mempercepat Koneksi Firefox :

1. Pertama-tama buka Firefox terebih dahulu.
2. Setelah itu ketikkan about:config pada Address Bar.
3. Lalu ganti :

network.http.max-connections menjadi 64
network.http.max-connections-per-server menjadi 21
network.http.max-persistent-connections-per-server menjadi 8
network.http.pipelining menjadi true
network.http.pipelining.maxrequests menjadi 100
network.http.proxy.pipelining menjadi true

4. Selanjutnya klik kanan New > Integrar
5. Pada "Enter The Preference Name" isikan nglayout.initialpaint.delay, lalu pada "Integrar Value" isikan 0.